Mahasiswa Unsoed Nanggap Sintren
Halaman 1 dari 1
Mahasiswa Unsoed Nanggap Sintren
*Penuhi Tugas Kuliah Hidupkan Seni Tradisional
SEORANG gadis berusia 15-16 tahun dimasukkan ke dalam sebuah kurungan ayam. Lirik tembang jawa tradisional disertai bau kemenyan menandakan bahwa ritual memanggil indang dimulai.
Riasih (18), penari sintren dari Kelompok Seni Sintren Mawar Sari Desa Kamulyan, Kecamatan Bantarsari, Cilacap, tiba-tiba lunglai. Tangannya gemulai mengikuti alunan gending jawa yang dibawakan oleh nayaga. Sejurus kemudian, lagu yang serupa mantra ditembangkan oleh sinden.
Kamis siang kemarin (18/10), puluhan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed berkumpul di halaman parkir kampus. Mereka nanggap sintren Banyumasan dalam rangka memenuhi tugas kuliah untuk mempelajari seni tradisional sebagai bahan diskusi.
Rasa ingin tahu mahasiswa itu dijawab oleh Sariyem (45), dukun sekaligus pemimpin kelompok itu. Dia mengatakan sintren pernah sangat populer sekitar tahun 1970-an. Sebagai kesenian rakyat, seni hiburan itu sangat digemari kala itu.
’’Seperti lengger Banyumasan, setiap pertunjukan sintren pasti akan penuh penonton,’’ ucapnya.
Kental Mistis
Menari sintren, imbuh dia, memang cukup kental nuansa mistisnya. Awalnya penari berpakaian biasa dan membawa pakaian khusus sintren. Setelah dibacakan mantera, penari lalu dikurung dengan kurungan ayam yang telah dibungkus kain. Sekitar setengah jam penari sudah berpakaian lengkap dan merias diri.
Dalam keadaan tidak sadar, penari sintren lalu mulai menari. ’’Saat menari ia sudah dirasuki bidadari yang saya panggil,’’ katanya.
Sepengetahuan Sariyem, saat ini di Cilacap hanya tinggal satu kelompok seni sintren yang masih bertahan. Padahal, sekitar tahun 1992-an di desanya masih terdapat 10 kelompok yang kerap ditanggap di sejumlah hajatan.
Kini, kelompok-kelompok itu makin hilang, seiring dengan seretnya jadwal manggung. Dia menuturkan, setiap kali manggung mereka hanya dibayar Rp 2 juta lengkap dengan organ tunggal. Jika hanya menggunakan seperangkat gamelan yang terdiri atas gong, saron, kenong, demung, dan kendang, hanya dibayar Rp 1,5 juta.
Dalam sebulan, kata dia, mereka ditanggap sedikitnya dua kali dan paling banyak bisa mencapai 15 kali. Di pelosok desa, kalau ada hajatan biasanya mereka diundang untuk meramaikan suasana. ’’Biasanya pentas dimulai pukul 21.00 hingga pukul 01.00.’’
Dosen Komunikasi Tradisional Fisip Unsoed, Chusmeru Padmonegoro, mengatakan saat ini kesenian sintren sudah hampir punah. ’’Di Banyumas Raya tinggal lima kelompok, padahal dulu sekitar tahun 1970-an hampir setiap kecamatan ada kelompok sintren,’’ katanya.(Nugroho Pandhu Sukmono-17,47)
#suara merdeka
SEORANG gadis berusia 15-16 tahun dimasukkan ke dalam sebuah kurungan ayam. Lirik tembang jawa tradisional disertai bau kemenyan menandakan bahwa ritual memanggil indang dimulai.
Riasih (18), penari sintren dari Kelompok Seni Sintren Mawar Sari Desa Kamulyan, Kecamatan Bantarsari, Cilacap, tiba-tiba lunglai. Tangannya gemulai mengikuti alunan gending jawa yang dibawakan oleh nayaga. Sejurus kemudian, lagu yang serupa mantra ditembangkan oleh sinden.
Kamis siang kemarin (18/10), puluhan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed berkumpul di halaman parkir kampus. Mereka nanggap sintren Banyumasan dalam rangka memenuhi tugas kuliah untuk mempelajari seni tradisional sebagai bahan diskusi.
Rasa ingin tahu mahasiswa itu dijawab oleh Sariyem (45), dukun sekaligus pemimpin kelompok itu. Dia mengatakan sintren pernah sangat populer sekitar tahun 1970-an. Sebagai kesenian rakyat, seni hiburan itu sangat digemari kala itu.
’’Seperti lengger Banyumasan, setiap pertunjukan sintren pasti akan penuh penonton,’’ ucapnya.
Kental Mistis
Menari sintren, imbuh dia, memang cukup kental nuansa mistisnya. Awalnya penari berpakaian biasa dan membawa pakaian khusus sintren. Setelah dibacakan mantera, penari lalu dikurung dengan kurungan ayam yang telah dibungkus kain. Sekitar setengah jam penari sudah berpakaian lengkap dan merias diri.
Dalam keadaan tidak sadar, penari sintren lalu mulai menari. ’’Saat menari ia sudah dirasuki bidadari yang saya panggil,’’ katanya.
Sepengetahuan Sariyem, saat ini di Cilacap hanya tinggal satu kelompok seni sintren yang masih bertahan. Padahal, sekitar tahun 1992-an di desanya masih terdapat 10 kelompok yang kerap ditanggap di sejumlah hajatan.
Kini, kelompok-kelompok itu makin hilang, seiring dengan seretnya jadwal manggung. Dia menuturkan, setiap kali manggung mereka hanya dibayar Rp 2 juta lengkap dengan organ tunggal. Jika hanya menggunakan seperangkat gamelan yang terdiri atas gong, saron, kenong, demung, dan kendang, hanya dibayar Rp 1,5 juta.
Dalam sebulan, kata dia, mereka ditanggap sedikitnya dua kali dan paling banyak bisa mencapai 15 kali. Di pelosok desa, kalau ada hajatan biasanya mereka diundang untuk meramaikan suasana. ’’Biasanya pentas dimulai pukul 21.00 hingga pukul 01.00.’’
Dosen Komunikasi Tradisional Fisip Unsoed, Chusmeru Padmonegoro, mengatakan saat ini kesenian sintren sudah hampir punah. ’’Di Banyumas Raya tinggal lima kelompok, padahal dulu sekitar tahun 1970-an hampir setiap kecamatan ada kelompok sintren,’’ katanya.(Nugroho Pandhu Sukmono-17,47)
#suara merdeka
Similar topics
» 351 Mahasiswa Unsoed Selesai KKN Posdaya dan Vokasi
» 83 Mahasiswa Unsoed Raih Predikat Cumlaude
» 37 Mahasiswa FE Unsoed Lolos Beasiswa Unggulan
» Tim Putri Unsoed Juara Kejurnas Catur Mahasiswa
» Mahasiswa Unsoed Malu Diwisuda Rektor Tersangka
» 83 Mahasiswa Unsoed Raih Predikat Cumlaude
» 37 Mahasiswa FE Unsoed Lolos Beasiswa Unggulan
» Tim Putri Unsoed Juara Kejurnas Catur Mahasiswa
» Mahasiswa Unsoed Malu Diwisuda Rektor Tersangka
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
|
|