warga purbalanjar
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Mudik ala Film Panginyongan

Go down

Mudik ala Film Panginyongan Empty Mudik ala Film Panginyongan

Post  tahenk Mon Apr 18, 2011 8:33 pm

suara merdeka

oleh: Sigit Harsanto
LEBIH dari satu dasawarsa, sejak film-film pendek mulai diproduksi di wilayah Banyumas Raya (Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Banyumas), tak juga surut kerja para penggiatnya untuk terus membuka ruang-ruang baru peminat film.

Bermula dari pemutaran film oleh teater kampus Universitas Jendral Soedir­man pada tahun 1999, kini film pendek yang sebagian mengusung karakter dan identitas lokal panginyongan, memilih untuk kembali ke kampung.

Tak hanya film-film pendek yang mayoritas bergerak tanpa kalkulasi laba rugi, sejumlah kampung di Banyu­mas Raya kini sudah dirambah industri film nasional.

Sebut saja film yang direncanakan berjudul ’’Sang Penari’’ garapan Salto Film yang sedang berupaya menerjemahkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ke dalam bahasa visual. Film dibesut oleh Ifa Ifansyah, sutradara muda asal Gom­bong yang berakar dari pegiat film pendek dan dikenal lewat debut film layar lebar ’’Garuda di Dadaku’’.

’’Ada waktunya kami gelar jumpa pers mengenai film ini. Untuk saat ini, segala urusan proses produksi hingga shoo­ting, belum bisa dipublikasi­kan,’’ ungkap Insan Indah Pri­badi dari Komunitas Sang­kan­pa­ran Cilacap yang ber­gabung membantu proses produksi.

Sementara di Purbaling­ga, ajang tahunan yang digelar Cinema Lovers Commu­nity (CLC) bertajuk Festival Film Purbalingga (FFP) pun sedang mengalami pergeseran. Setelah mendapat berbagai pengakuan nasional dan internasional, termasuk mendapat tropi di ajang Festival Film Indonesia 2010, festival yang digelar sejak 2007 itu, untuk tahun ini justru dise­leng­garakan di berbagai pe­losok desa. Padahal bia­sa­nya, festival digelar di pusat ko­ta.

Direktur FFP, Bowo Lek­sono mengakui jika pilihan itu dibuat sebagai semacam ge­rakan untuk pulang kembali ke kampung halaman. Itu tentu­nya setelah film-film pang­inyong­an mendapat tempat di berbagai komunitas dan pegiat film di luar wilayah Banyumas Raya. ’’Selain itu anak muda, khususnya pelajar dan mahasiswa yang terkonsentrasi di kota juga sudah familiar de­ngan film panginyongan. Sudah waktunya bagi kami membawa film ke ma­sya­rakat pedesaan,’’ tuturnya.

Bila tahun-tahun sebelumnya festival digelar dalam hitungan hari, di tahun ke lima ini akan digelar sebulan, 30 April hingga 28 Mei 2011, dengan program unggulan Layar Tanjleb (layar tancap) keliling desa di wilayah Banyu­mas Raya.

Tentu saja, menu wajib festival film seperti kompetisi film, workshop hingga disku­si pun digelar.

Road­show layar tancap itu akan dimulai lewat pergelaran budaya, pes­ta kuliner kampung dan pameran seniman pinggiran di Desa Palim­bongan Wetan, Keca­matan Bobotsari, Purba­lingga. ’’Me­re­ka yang datang dari luar kota untuk berpartisipasi, akan tinggal di homestay yang disediakan warga desa secara suka­rela,’’ jelasnya.

Ia mengatakan, agenda yang didanai mandiri itu tidak berpretensi untuk menga­takan apa pun dalam kancah perfilman nasional. Para pegiat film hanya merasa film panginyo­ngan perlu mendapat ruang apresiasi dari publiknya sen­diri. Suatu saat, film bisa diterima sebagai salah satu bentuk kesenian, seperti umumnya warga desa mengapresiasi pentas dangdut, lengger, genjringan atau kasidah.

’’Pokoknya sampai pada kondisi, mau khitanan ya nanggap film panginyongan, acara ulang tahun kemer­dekaan atau ulang tahun desa ya tak ketinggalan nonton bareng film panginyongan. Sederhana saja, terserah jika publik film nasional memberi penilaian lebih seperti sudah terjadi sebelum ini,’’ katanya.
Gerilya Salah seorang panitia, Asep Triyatno berkisah, warga desa sangat antusias. Termasuk pemerintah desa. Mereka simpatik karena sebagian anak muda yang tidak ikut urbanisasi ke kota, juga diajari membuat sampai memutar karya mereka sendiri mengenai profil desa yang menjadi tempat penyelenggaraan.

’’Kelompok pemuda di kampung jadi aktif berkiprah. Saat ini, dari lokal saja sudah ada 35 film yang berpartisipasi. Belum terhitung film-film dari berbagai kota di Indonesia.’’ Pemerhati kebudayaan, Teguh Trianton menyambut keputus­an kembali ke desa mampu memberi penekanan betapa film pendek memang pantas dinamai sinema gerilya. Bergerak dari satu komunitas ke komunitas lain, dari kampung ke kampung.
’’Film panginyongan selama ini sudah diapresiasi oleh kaum elit anak-anak muda dan masyarakat di kota. Bagus sekali jika kembali ke desa, publik yang mereka angkat dalam karya. Ini membuat film panginyongan makin membumi,’’ tuturnya.

Kehadiran film-film dengan karakter lokalitas yang kuat ke kampung, mampu memberi alternatif tontonan sekaligus wawasan. (71)
tahenk
tahenk

Jumlah posting : 2009
Join date : 27.01.08
Lokasi : Jakarta Selatan

http://tahenk.multiply.com/

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik