Mudik ala Film Panginyongan
Halaman 1 dari 1
Mudik ala Film Panginyongan
suara merdeka
oleh: Sigit Harsanto
LEBIH dari satu dasawarsa, sejak film-film pendek mulai diproduksi di wilayah Banyumas Raya (Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Banyumas), tak juga surut kerja para penggiatnya untuk terus membuka ruang-ruang baru peminat film.
Bermula dari pemutaran film oleh teater kampus Universitas Jendral Soedirman pada tahun 1999, kini film pendek yang sebagian mengusung karakter dan identitas lokal panginyongan, memilih untuk kembali ke kampung.
Tak hanya film-film pendek yang mayoritas bergerak tanpa kalkulasi laba rugi, sejumlah kampung di Banyumas Raya kini sudah dirambah industri film nasional.
Sebut saja film yang direncanakan berjudul ’’Sang Penari’’ garapan Salto Film yang sedang berupaya menerjemahkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ke dalam bahasa visual. Film dibesut oleh Ifa Ifansyah, sutradara muda asal Gombong yang berakar dari pegiat film pendek dan dikenal lewat debut film layar lebar ’’Garuda di Dadaku’’.
’’Ada waktunya kami gelar jumpa pers mengenai film ini. Untuk saat ini, segala urusan proses produksi hingga shooting, belum bisa dipublikasikan,’’ ungkap Insan Indah Pribadi dari Komunitas Sangkanparan Cilacap yang bergabung membantu proses produksi.
Sementara di Purbalingga, ajang tahunan yang digelar Cinema Lovers Community (CLC) bertajuk Festival Film Purbalingga (FFP) pun sedang mengalami pergeseran. Setelah mendapat berbagai pengakuan nasional dan internasional, termasuk mendapat tropi di ajang Festival Film Indonesia 2010, festival yang digelar sejak 2007 itu, untuk tahun ini justru diselenggarakan di berbagai pelosok desa. Padahal biasanya, festival digelar di pusat kota.
Direktur FFP, Bowo Leksono mengakui jika pilihan itu dibuat sebagai semacam gerakan untuk pulang kembali ke kampung halaman. Itu tentunya setelah film-film panginyongan mendapat tempat di berbagai komunitas dan pegiat film di luar wilayah Banyumas Raya. ’’Selain itu anak muda, khususnya pelajar dan mahasiswa yang terkonsentrasi di kota juga sudah familiar dengan film panginyongan. Sudah waktunya bagi kami membawa film ke masyarakat pedesaan,’’ tuturnya.
Bila tahun-tahun sebelumnya festival digelar dalam hitungan hari, di tahun ke lima ini akan digelar sebulan, 30 April hingga 28 Mei 2011, dengan program unggulan Layar Tanjleb (layar tancap) keliling desa di wilayah Banyumas Raya.
Tentu saja, menu wajib festival film seperti kompetisi film, workshop hingga diskusi pun digelar.
Roadshow layar tancap itu akan dimulai lewat pergelaran budaya, pesta kuliner kampung dan pameran seniman pinggiran di Desa Palimbongan Wetan, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga. ’’Mereka yang datang dari luar kota untuk berpartisipasi, akan tinggal di homestay yang disediakan warga desa secara sukarela,’’ jelasnya.
Ia mengatakan, agenda yang didanai mandiri itu tidak berpretensi untuk mengatakan apa pun dalam kancah perfilman nasional. Para pegiat film hanya merasa film panginyongan perlu mendapat ruang apresiasi dari publiknya sendiri. Suatu saat, film bisa diterima sebagai salah satu bentuk kesenian, seperti umumnya warga desa mengapresiasi pentas dangdut, lengger, genjringan atau kasidah.
’’Pokoknya sampai pada kondisi, mau khitanan ya nanggap film panginyongan, acara ulang tahun kemerdekaan atau ulang tahun desa ya tak ketinggalan nonton bareng film panginyongan. Sederhana saja, terserah jika publik film nasional memberi penilaian lebih seperti sudah terjadi sebelum ini,’’ katanya.
Gerilya Salah seorang panitia, Asep Triyatno berkisah, warga desa sangat antusias. Termasuk pemerintah desa. Mereka simpatik karena sebagian anak muda yang tidak ikut urbanisasi ke kota, juga diajari membuat sampai memutar karya mereka sendiri mengenai profil desa yang menjadi tempat penyelenggaraan.
’’Kelompok pemuda di kampung jadi aktif berkiprah. Saat ini, dari lokal saja sudah ada 35 film yang berpartisipasi. Belum terhitung film-film dari berbagai kota di Indonesia.’’ Pemerhati kebudayaan, Teguh Trianton menyambut keputusan kembali ke desa mampu memberi penekanan betapa film pendek memang pantas dinamai sinema gerilya. Bergerak dari satu komunitas ke komunitas lain, dari kampung ke kampung.
’’Film panginyongan selama ini sudah diapresiasi oleh kaum elit anak-anak muda dan masyarakat di kota. Bagus sekali jika kembali ke desa, publik yang mereka angkat dalam karya. Ini membuat film panginyongan makin membumi,’’ tuturnya.
Kehadiran film-film dengan karakter lokalitas yang kuat ke kampung, mampu memberi alternatif tontonan sekaligus wawasan. (71)
oleh: Sigit Harsanto
LEBIH dari satu dasawarsa, sejak film-film pendek mulai diproduksi di wilayah Banyumas Raya (Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Banyumas), tak juga surut kerja para penggiatnya untuk terus membuka ruang-ruang baru peminat film.
Bermula dari pemutaran film oleh teater kampus Universitas Jendral Soedirman pada tahun 1999, kini film pendek yang sebagian mengusung karakter dan identitas lokal panginyongan, memilih untuk kembali ke kampung.
Tak hanya film-film pendek yang mayoritas bergerak tanpa kalkulasi laba rugi, sejumlah kampung di Banyumas Raya kini sudah dirambah industri film nasional.
Sebut saja film yang direncanakan berjudul ’’Sang Penari’’ garapan Salto Film yang sedang berupaya menerjemahkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ke dalam bahasa visual. Film dibesut oleh Ifa Ifansyah, sutradara muda asal Gombong yang berakar dari pegiat film pendek dan dikenal lewat debut film layar lebar ’’Garuda di Dadaku’’.
’’Ada waktunya kami gelar jumpa pers mengenai film ini. Untuk saat ini, segala urusan proses produksi hingga shooting, belum bisa dipublikasikan,’’ ungkap Insan Indah Pribadi dari Komunitas Sangkanparan Cilacap yang bergabung membantu proses produksi.
Sementara di Purbalingga, ajang tahunan yang digelar Cinema Lovers Community (CLC) bertajuk Festival Film Purbalingga (FFP) pun sedang mengalami pergeseran. Setelah mendapat berbagai pengakuan nasional dan internasional, termasuk mendapat tropi di ajang Festival Film Indonesia 2010, festival yang digelar sejak 2007 itu, untuk tahun ini justru diselenggarakan di berbagai pelosok desa. Padahal biasanya, festival digelar di pusat kota.
Direktur FFP, Bowo Leksono mengakui jika pilihan itu dibuat sebagai semacam gerakan untuk pulang kembali ke kampung halaman. Itu tentunya setelah film-film panginyongan mendapat tempat di berbagai komunitas dan pegiat film di luar wilayah Banyumas Raya. ’’Selain itu anak muda, khususnya pelajar dan mahasiswa yang terkonsentrasi di kota juga sudah familiar dengan film panginyongan. Sudah waktunya bagi kami membawa film ke masyarakat pedesaan,’’ tuturnya.
Bila tahun-tahun sebelumnya festival digelar dalam hitungan hari, di tahun ke lima ini akan digelar sebulan, 30 April hingga 28 Mei 2011, dengan program unggulan Layar Tanjleb (layar tancap) keliling desa di wilayah Banyumas Raya.
Tentu saja, menu wajib festival film seperti kompetisi film, workshop hingga diskusi pun digelar.
Roadshow layar tancap itu akan dimulai lewat pergelaran budaya, pesta kuliner kampung dan pameran seniman pinggiran di Desa Palimbongan Wetan, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga. ’’Mereka yang datang dari luar kota untuk berpartisipasi, akan tinggal di homestay yang disediakan warga desa secara sukarela,’’ jelasnya.
Ia mengatakan, agenda yang didanai mandiri itu tidak berpretensi untuk mengatakan apa pun dalam kancah perfilman nasional. Para pegiat film hanya merasa film panginyongan perlu mendapat ruang apresiasi dari publiknya sendiri. Suatu saat, film bisa diterima sebagai salah satu bentuk kesenian, seperti umumnya warga desa mengapresiasi pentas dangdut, lengger, genjringan atau kasidah.
’’Pokoknya sampai pada kondisi, mau khitanan ya nanggap film panginyongan, acara ulang tahun kemerdekaan atau ulang tahun desa ya tak ketinggalan nonton bareng film panginyongan. Sederhana saja, terserah jika publik film nasional memberi penilaian lebih seperti sudah terjadi sebelum ini,’’ katanya.
Gerilya Salah seorang panitia, Asep Triyatno berkisah, warga desa sangat antusias. Termasuk pemerintah desa. Mereka simpatik karena sebagian anak muda yang tidak ikut urbanisasi ke kota, juga diajari membuat sampai memutar karya mereka sendiri mengenai profil desa yang menjadi tempat penyelenggaraan.
’’Kelompok pemuda di kampung jadi aktif berkiprah. Saat ini, dari lokal saja sudah ada 35 film yang berpartisipasi. Belum terhitung film-film dari berbagai kota di Indonesia.’’ Pemerhati kebudayaan, Teguh Trianton menyambut keputusan kembali ke desa mampu memberi penekanan betapa film pendek memang pantas dinamai sinema gerilya. Bergerak dari satu komunitas ke komunitas lain, dari kampung ke kampung.
’’Film panginyongan selama ini sudah diapresiasi oleh kaum elit anak-anak muda dan masyarakat di kota. Bagus sekali jika kembali ke desa, publik yang mereka angkat dalam karya. Ini membuat film panginyongan makin membumi,’’ tuturnya.
Kehadiran film-film dengan karakter lokalitas yang kuat ke kampung, mampu memberi alternatif tontonan sekaligus wawasan. (71)
Similar topics
» 7 Film Purbalingga Jadi Finalis StoS Film Fest 2012
» Mudik ke Yogya, Ada Kereta Ekonomi AC
» Puskesmas di Jalur Mudik Siaga 24 jam
» 13 CCTV Pantau Arus Mudik
» 300 Warga Mudik Gratis ke Purbalingga
» Mudik ke Yogya, Ada Kereta Ekonomi AC
» Puskesmas di Jalur Mudik Siaga 24 jam
» 13 CCTV Pantau Arus Mudik
» 300 Warga Mudik Gratis ke Purbalingga
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
|
|