warga purbalanjar
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Mistam Warga Purbalingga

Go down

Mistam Warga Purbalingga Empty Mistam Warga Purbalingga

Post  tahenk Fri Aug 21, 2009 10:49 pm

PURBALINGGA- Salah satu buronan teroris yang dirilis Mabes Polri karena diduga terlibat dalam peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Mega Kuningan pada 17 Juli lalu, yakni Ario Sudarso alias Suparjo Dwi Anggoro Aji alias Dayat alias Mistam Husamudin merupakan warga Purbalingga.

Bahkan sejumlah warga dan perangkat desa meyakini identitas dan foto yang dirilis Mabes Polri tersebut benar merupakan Mistam Husamudin yang saat ini tinggal di RT 18 RW IX Dukuh Kedungjampang, Desa Karangreja, Kecamatan Kutasari.

”Selaku tetangga, melihat foto yang dilansir Mabes Polri dan dimuat di koran saya paham kalau foto tersebut benar merupakan Mistam Husamudin,” kata Sutarno (35), warga Kedungjampang, kemarin.

Warga setempat hanya mengetahui bila Mistam Husamudin telah pergi tiga hari sebelum penggerebekan yang dilakukan Tim Densus 88 pada Minggu (22/6). Dan, hingga sekarang yang bersangkutan belum pernah pulang lagi.

Masyarakat menilai kepribadian Mistam cukup baik dan ramah terhadap siapa saja. Bahkan masyarakat sempat kaget ketika Tim Densus Antiteror 88 mencarinya. Namun setelah penggerebekan itu terjadi dan dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), warga tidak lagi kaget.

”Selama tinggal di sini, dia tidak menampakkan tingkah laku yang aneh. Dia dikenal sangat baik terhadap warga sekitar tempat tinggalnya.”
Dalam kesehariannya, Mistam Husamudin dikenal sebagai penjual kacamata dan service pompa air serta barang-barang elektronik lainnya.
Selain keliling, terkadang dia juga melayani servis panggilan ke rumah-rumah warga.

Kaget

Sekdes Karangreja, Kecamatan Kutasari Narsito juga membenarkan jika salah satu foto yang dilansir Mabes Polri sebagai buronan teroris tersebut merupakan warganya yang tinggal di Dukuh Kedungjampang. ”Betul ini orangnya (Mistam Husamudin). Wajahnya juga tidak berubah.”

Sebelum meninggalkan rumah, awalnya Mistam Husamudin menjadi tukang servis barang-barang elektronik dan jam tangan. Dia biasa mangkal di depan sebuah toko di Pasar Kutasari. Namun sejak ada penggerebekan yang dilakukan Tim Densus, hingga sekarang belum diketahui keberadaannya.

Pihaknya mengaku sangat kaget ketika yang bersangkutan ternyata diduga terlibat jaringan teroris. Berdasarkan data yang dilansir Mabes Polri disebutkan ada dua kemungkinan tempat kelahiran Mistam Husamudin, yakni Tegal pada 22 Januari 1973 dan Kendal 20 Maret 1973. Adapun alamat terakhirnya di kampung Pisangan RT 10/05 Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur dan Gamping RT 08/02 Desa Sidokumpul, Patean, Kendal.

Namun berdasarkan buku induk pemerintah Desa Karangreja, Kutasari, Purbalingga disebutkan yang bersangkutan terlahir di Cilacap pada 17 September 1970 dengan nama Husamudin Mistam.

Sementara pada Juni lalu, Titi Rokhati (31) istri Huzamudin mengungkapkan, selama ini tidak ada tingkah laku yang mencurigakan dari suami yang telah menikahinya selama 12 tahun tersebut.

”Yang saya tahu selama ini ia bekerja di Jakarta,” ujar dia. Huzamudin pernah bekerja sebagai tukang servis peralatan rumah tangga seperti pompa air, kulkas, setrika, bahkan juga bertani. Namun berhubung selama di rumah penghasilannya kurang mencukupi, akhirnya dia merantau ke Jakarta. Titik sendiri tidak mempercayai kalau suaminya terlibat terorisme.

Rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal Mistam Husamudin (39), warga RT 18 RW IX Dukuh Kedungjampang, Desa Karangreja, Kecamatan Kutasari, Purbalingga terlihat lengang.

Ketika wartawan media cetak dan elektronik mendatangi rumahnya, kemarin, menjumpai tidak ada aktivitas di dalam rumah tersebut. Di dalam juga tidak ada orang.

Tak jauh dari rumah tersebut, warga tampak berkerumun. Hanya ada beberapa orang saja yang bersedia memberikan penjelasan terkait dengan keberadaan Mistam Husamudin dan keluarganya.
Selain Mistam Husamudin, di dalam rumah tersebut tinggal Titi Rokhati (31) istri Huzamudin, ibu mertua dan ketiga anaknya yang masih kecil.

Sehari-hari, istri Mistam Husamudin mengajar di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di desa setempat. ”Memang rumahnya tiap hari biasa sepi. Istrinya mengajar di PAUD yang ada di desa ini. Untuk sekarang hanya ada istri, ibu mertua, dan ketiga anaknya yang tinggal di rumah tersebut,” ungkap salah seorang warga.

Sesalkan Tindakan Bagus

Sementara itu, Bagus Budi Pranoto, warga Desa Mijen, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Mabes Polri pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren (ponpes) Islam Al Muttaqin. Pondok itu beralamat di Desa Sowan Kidul, Kecamatan Kedung.

Direktur Ponpes Al Muttaqin, KH Sartono Munadi (57), mengakuinya.
“Ya, kami mengakui jika Bagus alumnus dari ponpes kami dan pernah belajar di sini selama enam tahun,” kata Sartono.

Dari data ponpes, Bagus masuk Al Muttaqin sekitar tahun 1991 dan mengenyam pendidikan selama enam tahun dengan pendidikan setingkat SMP dan SMA. Bagus masuk ke ponpes setelah menamatkan SD.

Meski pernah menjadi muridnya, Sartono menjelaskan pendidikan di ponpesnya tidak pernah mengajarkan cara-cara kekerasan sebagaimana yang telah dilakukan Bagus saat ini. “Kami menyesalkan sikap Bagus.

Di sini (ponpes) tidak pernah diajarkan cara kekerasan yang melukai umat siapapun. Secara tegas, kami tidak sepakat dengan yang dilakukan Bagus. Ponpes selama ini mengajarkan kurikulum dan pelajaran sebagaimana ponpes lainnya,” tandas Sartono.

Kepada media, Sartono meminta agar para wartawan dalam memberitakan ponpes yang pernah menjadi tempat belajar Bagus tidak mengaitkan ponpesnya dengan aksi teror yang dilakukan yang bersangkutan, pasalnya yang dilakukan Bagus memang tidak pernah diajarkan di ponpesnya. Selepas menamatkan belajar tahun ajaran 1996/1997 hingga saat ini, Ponpes Al Muttaqin tidak pernah berhubungan dengan Bagus.

“Selepas lulus tahun 1997, dia langsung pulang. Hingga saat ini tidak pernah kembali lagi ke ponpes. Setelah keluar dari sini, kegiatan apa yang dilakukan yang bersangkutan kami tidak tahu. Kemana dia belajar, bergaul dengan siapa, pihak kami tidak mengetahuinya. Yang kami tahu informasinya dari media setelah Bagus pernah ditahan oleh polisi dan sekarang masuk dalam DPO,” kata Sartono yang didampingi santri-santri yang lainnya.

Ponpes yang berdiri sejak tahun 1988 telah meluluskan ratusan santri putra maupun putri. Saat ini tercatat 750 orang belajar di ponpes tersebut yang berasal dari berbaga daerah dan kebanyakan santri dari Jakarta. Selain dari Jawa, santri ponpes ini juga berasal dari luar Jawa. Yang paling jauh dari Aceh. Adapun jumlah staf pengajar di ponpes yang menganut sistem pembelajaran klasikal seperti yang digunakan ponpes moderen Gontor sekitar 100 lebih.

Dia mengaku peran ponpes dalam membantu kepribadian anak-anak sangat besar. Menurutnya, selama ini ponpes sering terbawa-bawa dengan hal negatif termasuk teroris.

Padahal hal yang positif juga banyak dilakukan ponpes.
Sementara itu, selama menjadi santri Ponpes Islam Al Muttaqin, prestasi Bagus Budi Pranoto biasa-biasa saja. “Tidak ada yang istimewa dari diri Bagus, biasa-biasa saja.

Prestasinya juga sedang-sedang saja. Dalam pergaulan dengan rekan-rekannya, seperti normalnya siswa lainnya. Untuk paham kekerasan itu, saya sangat menyesalkan. Entah dia dapat darimana selepas lulus dari ponpes kami,” kata Sartono.

Menurutnya, apa yang dilakukan Bagus tidak bisa dihubungkan dengan Al Muttaqin. Terkait nama Urwah panggilan alias Bagus, ternyata tidak pernah didengar saat Bagus menimba ilmu di ponpes tersebut.

“Kami tidak terpengaruh dengan kondisi itu. Di sini tempat belajar, urusan dia ya urusan dia. Pesantren sering terbawa-bawa, semoga saja bisa diluruskan. Untuk nama Urwah, julukan itu saya tidak tahu, yang kami tahu ya Bagus. Saat pemberitaan di media nama Bagus disebut lengkap, kami yakin itu bagus mantan murid kami,” tandasnya.

Jangan Mengurusi Janggut

Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyatakan, penanganan terorisme terutama oleh aparat keamanan diharapkan tidak terjebak pada persoalan sekadar formalisme. Dalam pandangannya, tren pascaserangan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, ternyata menunjukkan gelagat tersebut.

Mencurigai jilbab, orang berjanggut, aktivis masjid, agama, dan stigma negatif terhadap pesantren, menurut pria kelahiran Klaten itu, hanya akan melahirkan situasi yang kontraproduktif.

“Siapa pun jangan menyederhanakan permasalahan terorisme sekadar formalisme seperti jilbab, janggut, aktif di masjid, beragama apa, dan pesantren. Sebab terorisme bisa muncul dengan wajah apapun,” katanya di Bandung, kemarin.

Menurut Hidayat, pendekatan seperti itu dikhawatirkan malah menyukseskan misi terorisme yakni memecah belah sesama warga bangsa, sikap saling curiga di antara sesama warga dengan aparat, dan menjadikan orang takut ke masjid.

“Anak muda tak mau ke masjid karena takut dicap sebagai teroris, jadi mereka lebih suka menjadi permissif dan hedonis. Padahal itu merealisasikan terorisme global, Indonesia menjadi lemah dan tidak pernah kuat,” katanya.

Mantan Presiden PKS itu juga menyoroti aliran dana dari luar negeri yang ditengarai digunakan untuk menggelar aksi terorisme. Dia meminta aparat keamanan melakukan pendekatan profesional dalam mengungkap asal muasal dana tersebut.

Mengecap dana dari luar negeri, terutama yang berasal dari Timur Tengah, untuk kepentingan terorisme dianggap sebagai sebuah tindakan gegabah. Menurut Hidayat, lembaga seperti PBB hingga Ormas Islam mendapatkan dana pula dari Timteng.

“Tidak serta merta aliran dana dari Timteng itu negatif, konotasinya dengan terorisme. Negara mana yang tidak mendapatkan dana dari Timteng. PBB sampai Ormas Islam dapat dana dari Timteng. Permasalahannya itu digunakan untuk apa.”

Kepala Desk Antiteror, Irjen Ansyaad Mbai menjelaskan, hukum di Indonesia masih lemah sehingga kelompok radikal seperti Noordin M Top banyak mengembangkan jaringan di Tanah Air.

”Hukum kita yang membiarkan kita diobok-obok. Bagi Noordin M Top, tiada tempat lain selain di Indonesia, itu juga berlaku bagi teroris,” ujar dia dalam peluncuruan buku ”Deradikalisasi Teroris” di kampus Universitas Indonesia.

Menurut dia, beberapa pelaku teror hanya ditahan hingga 180 hari, sama seperti penahanan untuk maling ayam. Hal itu berbeda, misalnya dengan penanganan terorisme di Perancis dan negara Eropa lainnya.

Dengan aturan hukum yang lemah, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menuding Malaysia, walaupun Noordin dan Azahari yang telah tewas berasal dari Negeri Jiran tersebut. ”Kita akan menjadi kerdil kalau kita marah.” (H48,J21,J4,dwi-46,88,48)
tahenk
tahenk

Jumlah posting : 2009
Join date : 27.01.08
Lokasi : Jakarta Selatan

http://tahenk.multiply.com/

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik