Bertahan dari Gilasan Zaman
Halaman 1 dari 1
Bertahan dari Gilasan Zaman
* Produksi Payung Kertas Kalibagor
BANGUNAN tua bekas pabrik gula, selama ini mungkin menjadi salah satu ikon wilayah Kalibagor, Banyumas. Maklum, pabrik gula yang didirikan Van De Cook di tahun 1838 itu pernah mengalami masa jaya pada zamannya, hingga akhirnya pabrik yang pernah menjadi kebanggaan warga sekitar itu harus ditutup pada 1997 lalu lantaran terus merugi.
Memori kejayaan pabrik itu rupanya juga masih terekam oleh Sudirno, salah satu perajin payung kertas di wilayah Kalibagor. Saat Suara Merdeka menyambangi kediamannya di RT 5 RW 3 Desa/Kecamatan Kalibagor kemarin, ia menuturkan bahwa produksi kerajinan payung kertas di desanya dimulai hampir bersamaan dengan berdirinya pabrik tersebut.
’’Saya kurang tahu pastinya, namun menurut mertua saya saat pabrik gula dibangun kerajinan payung kertas di sini mulai marak,’’ ucapnya.
Menurut bapak lima anak itu, sejak saat itu payung-payung produksi desanya memasuki masa jaya. Kejayaan payung kertas Kalibagor bertahan cukup lama, hingga serbuan payung impor berbahan parasut dan berangka besi mulai masuk pasaran sekitar tahun 1970-an.
’’Semua warga desa sebelumnya menjadi perajin payung kertas, namun begitu payung impor masuk, pesanan semakin berkurang. Akhirnya banyak yang beralih profesi,’’ imbuh Suwati, istri Sudirno.
Kendati demikian, menurut Suwati, keluarganya tetap meneruskan usaha turun-temurun tersebut hingga saat ini. Berkat ketekunannya, payung berbahan bambu dan kertas semen itu bisa menghidupi ia dan keluarganya.
Gempuran payung modern yang begitu masif, ternyata tak membuat payung kertas kehilangan pasar. Meski kecil, ternyata masih ada ceruk pasar yang bisa membuat payung itu tetap bertahan hingga saat ini.
’’Kebanyakan beli untuk keperluan pemakaman, tapi banyak juga yang digunakan untuk hiasan maupun cenderamata. Pesanan bahkan ada yang datang dari Bali dan Yogyakarta, selain dari kota sekitar Banyumas seperti Cilacap, Sidareja, dan Kebumen. Kalau soal harga tergantung bentuk, yang paling sederhana Rp 20.000,’’ tuturnya.
Bukan saja ceruk pasar yang masih ada, kualitas payung kertas buatan warga Desa Kalibagor itu juga membuat konsumen secara tidak langsung ikut memperpanjang umur kerajinan tersebut.
Salah satu hal yang diakui Sudiro membuat konsumen puas, yaitu lantaran payung kertas buatannya mampu bertahan cukup lama.
’’Kami memakai lem perekat yang dibuat secara tradisional dengan bahan kulit kayu salam yang ditumbuk. Lem itu meski sudah bertahun-tahun tetap akan merekat kuat, walau terkena panas dan hujan,’’ katanya.
Meski masih memiliki pangsa pasar, ia mengaku khawatir akan kelangsungan kerajinan tersebut. Diakui saat ini sangat sulit mencari tenaga pembuat payung tradisional itu, sebab generasi muda saat ini tidak telaten, dan cenderung kurang berminat dengan kerajinan payung kertas. Bahkan, di desanya kini hanya menyisakan sembilan orang perajin saja.
’’Sembilan orang itu juga masih keluarga kami sendiri. Belum ada orang selain keluarga kami yang ikut menjadi perajin,’’ tambahnya.
>>>suaramerdeka.com
BANGUNAN tua bekas pabrik gula, selama ini mungkin menjadi salah satu ikon wilayah Kalibagor, Banyumas. Maklum, pabrik gula yang didirikan Van De Cook di tahun 1838 itu pernah mengalami masa jaya pada zamannya, hingga akhirnya pabrik yang pernah menjadi kebanggaan warga sekitar itu harus ditutup pada 1997 lalu lantaran terus merugi.
Memori kejayaan pabrik itu rupanya juga masih terekam oleh Sudirno, salah satu perajin payung kertas di wilayah Kalibagor. Saat Suara Merdeka menyambangi kediamannya di RT 5 RW 3 Desa/Kecamatan Kalibagor kemarin, ia menuturkan bahwa produksi kerajinan payung kertas di desanya dimulai hampir bersamaan dengan berdirinya pabrik tersebut.
’’Saya kurang tahu pastinya, namun menurut mertua saya saat pabrik gula dibangun kerajinan payung kertas di sini mulai marak,’’ ucapnya.
Menurut bapak lima anak itu, sejak saat itu payung-payung produksi desanya memasuki masa jaya. Kejayaan payung kertas Kalibagor bertahan cukup lama, hingga serbuan payung impor berbahan parasut dan berangka besi mulai masuk pasaran sekitar tahun 1970-an.
’’Semua warga desa sebelumnya menjadi perajin payung kertas, namun begitu payung impor masuk, pesanan semakin berkurang. Akhirnya banyak yang beralih profesi,’’ imbuh Suwati, istri Sudirno.
Kendati demikian, menurut Suwati, keluarganya tetap meneruskan usaha turun-temurun tersebut hingga saat ini. Berkat ketekunannya, payung berbahan bambu dan kertas semen itu bisa menghidupi ia dan keluarganya.
Gempuran payung modern yang begitu masif, ternyata tak membuat payung kertas kehilangan pasar. Meski kecil, ternyata masih ada ceruk pasar yang bisa membuat payung itu tetap bertahan hingga saat ini.
’’Kebanyakan beli untuk keperluan pemakaman, tapi banyak juga yang digunakan untuk hiasan maupun cenderamata. Pesanan bahkan ada yang datang dari Bali dan Yogyakarta, selain dari kota sekitar Banyumas seperti Cilacap, Sidareja, dan Kebumen. Kalau soal harga tergantung bentuk, yang paling sederhana Rp 20.000,’’ tuturnya.
Bukan saja ceruk pasar yang masih ada, kualitas payung kertas buatan warga Desa Kalibagor itu juga membuat konsumen secara tidak langsung ikut memperpanjang umur kerajinan tersebut.
Salah satu hal yang diakui Sudiro membuat konsumen puas, yaitu lantaran payung kertas buatannya mampu bertahan cukup lama.
’’Kami memakai lem perekat yang dibuat secara tradisional dengan bahan kulit kayu salam yang ditumbuk. Lem itu meski sudah bertahun-tahun tetap akan merekat kuat, walau terkena panas dan hujan,’’ katanya.
Meski masih memiliki pangsa pasar, ia mengaku khawatir akan kelangsungan kerajinan tersebut. Diakui saat ini sangat sulit mencari tenaga pembuat payung tradisional itu, sebab generasi muda saat ini tidak telaten, dan cenderung kurang berminat dengan kerajinan payung kertas. Bahkan, di desanya kini hanya menyisakan sembilan orang perajin saja.
’’Sembilan orang itu juga masih keluarga kami sendiri. Belum ada orang selain keluarga kami yang ikut menjadi perajin,’’ tambahnya.
>>>suaramerdeka.com
Similar topics
» Pedagang Bertahan di Jl MT Haryono
» Harga Beras di Purwokerto Bertahan Tinggi
» 20 Mahasiswa Asal Cilacap - Bertahan di Mesir
» Lansia Berjualan Nasi Aking Demi Bertahan Hidup
» 301 Hektar Sawah Selamat dari Puso
» Harga Beras di Purwokerto Bertahan Tinggi
» 20 Mahasiswa Asal Cilacap - Bertahan di Mesir
» Lansia Berjualan Nasi Aking Demi Bertahan Hidup
» 301 Hektar Sawah Selamat dari Puso
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
|
|