Lansia Berjualan Nasi Aking Demi Bertahan Hidup
Halaman 1 dari 1
Lansia Berjualan Nasi Aking Demi Bertahan Hidup
LETAKNYA kurang lebih empat kilometer dari pusat pemerintahan dan berada dekat asrama polisi, namun RT 8 RW 13, Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan lebih dikenal sebagai lokasi pemukiman kumuh.
Kebanyakan warganya hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk bertahan hidup mereka pun terpaksa bekerja serabutan, berjualan barang-barang bekas, menjadi tukang pijat, bahkan ada yang menjadi wanita pekerja seks (WPS).
Karena tidak memiliki jaminan hari tua, beberapa warga berusia lanjut masih mencari uang dengan cara menjual nasi aking atau nasi yang telah dikeringkan. Harga satu kilogram cukup tinggi sekitar Rp 3 ribu.
“Nasi yang dikeringkan tidak untuk dikonsumsi sendiri, melainkan dijual kepada para peternak unggas seperti ayam, bebek, atau ke pedagang pengepul. Warga di sini kebanyakan miskin, beberapa di antaranya berstatus janda,” ujar Ketua RT 8 RW 13, Misno.
Menurut Misno, rata-rata yang mengeringkan nasi juga warga yang berstatus janda. Ia mengungkapkan, hasil berjualan nasi aking biasanya digunakan untuk menyambung hidup atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Seorang warga, Gutheng Marjuki (81) saat ditemui di rumahnya mengatakan, jika ada kelebihan nasi di rumah kadang dirinya berjualan nasi aking. Ia menambahkan, sebagai seorang janda dengan satu anak yang mengidap gangguan jiwa dirinya terpaksa berjualan apa saja.
“Kadang saya jualan baju bekas dan membuat bantal jika ada orang yang memesan, hasilnya tidak seberapa hanya cukup untuk makan. Kalau musim hujan seperti ini, biasanya jarang ada yang membuat nasi aking,” katanya.
Ia yang kerap disapa Mbah Marjuki juga tinggal di rumah tidak layak huni yang disewanya selama 10 tahun. Ketika hujan, air akan masuk melalui dinding dan atap. Ia mengaku, tidak pernah mengeluh dan tetap bersyukur dengan segala kekurangan.
>>satelitpost
Kebanyakan warganya hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk bertahan hidup mereka pun terpaksa bekerja serabutan, berjualan barang-barang bekas, menjadi tukang pijat, bahkan ada yang menjadi wanita pekerja seks (WPS).
Karena tidak memiliki jaminan hari tua, beberapa warga berusia lanjut masih mencari uang dengan cara menjual nasi aking atau nasi yang telah dikeringkan. Harga satu kilogram cukup tinggi sekitar Rp 3 ribu.
“Nasi yang dikeringkan tidak untuk dikonsumsi sendiri, melainkan dijual kepada para peternak unggas seperti ayam, bebek, atau ke pedagang pengepul. Warga di sini kebanyakan miskin, beberapa di antaranya berstatus janda,” ujar Ketua RT 8 RW 13, Misno.
Menurut Misno, rata-rata yang mengeringkan nasi juga warga yang berstatus janda. Ia mengungkapkan, hasil berjualan nasi aking biasanya digunakan untuk menyambung hidup atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Seorang warga, Gutheng Marjuki (81) saat ditemui di rumahnya mengatakan, jika ada kelebihan nasi di rumah kadang dirinya berjualan nasi aking. Ia menambahkan, sebagai seorang janda dengan satu anak yang mengidap gangguan jiwa dirinya terpaksa berjualan apa saja.
“Kadang saya jualan baju bekas dan membuat bantal jika ada orang yang memesan, hasilnya tidak seberapa hanya cukup untuk makan. Kalau musim hujan seperti ini, biasanya jarang ada yang membuat nasi aking,” katanya.
Ia yang kerap disapa Mbah Marjuki juga tinggal di rumah tidak layak huni yang disewanya selama 10 tahun. Ketika hujan, air akan masuk melalui dinding dan atap. Ia mengaku, tidak pernah mengeluh dan tetap bersyukur dengan segala kekurangan.
>>satelitpost
Similar topics
» Edan! Ibu Tega Kubur Putranya Hidup-hidup
» Berawal dari Kelapa Aking
» Pedagang Bertahan di Jl MT Haryono
» Bertahan dari Gilasan Zaman
» 20 Mahasiswa Asal Cilacap - Bertahan di Mesir
» Berawal dari Kelapa Aking
» Pedagang Bertahan di Jl MT Haryono
» Bertahan dari Gilasan Zaman
» 20 Mahasiswa Asal Cilacap - Bertahan di Mesir
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
|
|