warga purbalanjar
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Kobarkan Semangat Juang lewat Buncis

Go down

Kobarkan Semangat Juang lewat Buncis Empty Kobarkan Semangat Juang lewat Buncis

Post  tahenk Mon Sep 12, 2011 8:10 pm

DALAM karnaval kesenian perayaan Hari Jadi Kabupaten Banyumas, beberapa waktu lalu, para penonton dibuat terheran-heran dengan kemunculan sosok golek (boneka dari Banyumas-Red) seukuran manusia yang sedang menggendong manusia. Diiringi musik calung, boneka itu bergoyang jenaka

Lho kok bisa? Jika dilihat sepintas memang bisa, namun bila diamati, ternyata bukan bonekanya yang nggendong manusia, tapi manusianyalah yang mbopong boneka.
Masyarakat Banyumas menamainya sebagai kesenian golek gendhong atau Buncis. Ada beberapa versi yang menyebutkan awal kemun­culan kesenian tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa Buncis ada sejak abad 18.

Secara harfiah, Buncis berasal dari dua kata, yaitu bun sama dengan buntaran, yang berarti gagang keris dan cis yang berarti keris kecil. Ada kisah dibalik kesenian ini.
Dulu di daerah Purwokerto Barat terdapat Kadipaten Gentayakan. Kala itu, Raden Prayitno yang usianya masih muda diperintah ayahnya, segera mencari pasangan untuk menggantikannya sebagai adipati.

Raden Prayitno pun menyepi di kamarnya dan mendapat sebuah wangsit, ia akan bertemu se­orang gadis bernama Dewi Nur Kanthi, anak dari Demang Kalisalak (kini menjadi Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Banyumas). Ia pun berangkat untuk melamar sang putri ditemani punggawanya.
Ternyata pada saat bersamaan, gadis itu sedang dilamar oleh pangeran dari Pulau Majeti (selatan Pulau Nusakambangan, Cilacap). Perkelahian pun tak terhindarkan. Prayitno kalah, ia pun mundur dan meminta bantuan kepada Sunan Giring. Oleh orang sakti itu, ia diberi sebilah keris. Prayitno pun kegirangan dan berlari untuk membalas kekalahannya. Karena ke­girang­an, ia terpaduk batu dan terjatuh. Keris itu pun lepas dari gagangnya.

Seketika gagang keris itu berubah menjadi sosok manusia berwajah seram dan kerisnya berubah menjadi seekor ular. Kedua sosok itu berkata kepada Prayitno jika dapat mengalahkan pangeran dari Pulau Majeti, akan menggendong Prayitno dari Kademangan Kalisalak ke Kadipaten Gentayakan.
”Dengan bantuan pusaka sakti itu, Prayitno dapat mengalahkan saingan cintanya. Dan janji itu pun dipenuhi oleh sosok manusia seram itu. Prayitno digendong hingga kediamannya. Dari situlah kesenian buncis berkembang,’’ kata Pamong Budaya Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Dinpora­budpar) Banyumas, Legono.

Lawan Penjajah

Versi lain, kesenian ini muncul usai perang Diponegoro. Para pengikut Pangeran Dipo­negoro yang mengungsi di wilayah Banyumas menghibur diri dengan kesenian itu. Konon kata ”buncis” merupakan jarwo dhosok (singkatan) dari ”bundhelan cis”. ”Bundhelan” berarti simpul, patron atau sesuatu yang dianggap bermakna, sesuatu yang harus dipegang teguh. Dan ”cis” berarti perkataan yang keluar dari lisan.
”Buncis” dapat diartikan sebagai kata-kata para leluhur yang harus dipegang teguh, dijadikan sebagai dasar dalam perikehidupan. Maksudnya adalah perkataan pemimpin mereka, Pangeran Diponegoro. Bahwa ibarat jika harkat dan martabat kemanusiaan direndahkan serta sejengkal tanah dikuasai orang lain maka harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan.

”Seni Buncis dijadikan sebagai alat untuk mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah Balanda,” kata pegiat budaya Ba­nyumas, Yusmanto.
Di Banyumas dulu ada beberapa grup kesenian Buncis yang berkembang, seperti di Desa Kaliwedi, Kecamatan Kebasen, Somakaton dan Tanggeran, Kecamatan Somagede. Bahkan berkembang hingga ke Cilacap, Purbalingga, dan Gombong. Kesenian ini ada karena dulu dibawa oleh orang yang ngamen dengan Buncis.
Ada dua versi pula jenis kesenian ini. Pertama berupa Golek Gendhong yang berkembang di Desa Kaliwedi. Para pemainnya tidak mengalami trance. Mereka hanya bergoyang mengikuti irama calung.

Di Desa Tanggeran, Buncis tidak memiliki Golek Gendhong. Para pemainnya mengenakan kostum mirip suku pedalaman dan make up arang yang dibalurkan di muka. Di sini, biasanya pemain mengalami trance layaknya kesenian tradisional Banyumas lain, seperti Ebeg.
Layaknnya kesenian tradisional lain, buncis saat ini kondisinya semakin tersingkirkan. Dinporabudpar mencatat sekarang hanya tinggal satu kelompok yang masih eksis, yaitu ”Golek Gendhong Sido Laras” pimpinan Yasmudi Yatin. Kelompok ini hanya ada enam orang yang terdiri dari dua orang penari golek, penabuh calug, gog kecil, kendhang dan titi lilin (saron kecil).

Pria kelahiran Banyumas, 7 September 1951 itu bermain kesenian itu sejak 1972. Berawal dari melihat Buncis, ia pun mencoba membuat dan belajar sendiri. Dari keisengan itulah berbuah kecintaan. Dengan kesenian itu ia berkelana menjelajahi berbagai kota untuk ngamen.
”Bayarannya memang tidak banyak, kadang kurang untuk biaya hidup,” kata suami Warsinah di rumahnya yang hanya berdinding kayu dan berlantai tanah di Grumbul Ngasinan, RT 1 RW 4 Desa Kaliwedi, Kecamatan Kebasen, Banyumas.
Sejak tiga tahun lalu, grup keenian ini sering dipanggil oleh pemerintah kabupaten untuk mengisi berbagai acara hari jadi kabupaten dan Agustusan. Sekali ditanggap maksimal mereka dibayar Rp 600 ribu dan itu dibagi rata kepada seluruh pemain.
”Saya sering dimarahi istri karena kadang tidak dapat uang yang cukup dari Buncis. Tapi yang namanya sudah cinta bagaimana lagi. Saya senang menghibur orang lain. Selain itu juga un­tuk nguri-uri kesenian,” papar kakek 12 cucu itu.

Kondisi kesenian Buncis memang sangat memprihatinkan. Bahkan Dinporabudpar Banyumas memasukkannya dalam salah satu kesenian yang hampir punah. Namun Yasmudi optimistis kesenian ini akan selalu ada. Ada anak muda yang mau mengikuti jejaknya.
Seperti kesenian tradisional lain yang hampir punah, pembinaan dilakukan oleh Din­porabudpar agar kesenian itu dapat terus hidup di tengah gilasan roda modernitas.
”Kami sering mengundang mereka untuk bermain di berbagai kesempatan dan memperkenalkan kepada masyarakat. Ini lho kesenian Buncis,’’ kata Kepala Dinporabudpar Banyumas, Dwi Pindarto. (71)

* Oleh Ryan Rachman (suara merdeka)
tahenk
tahenk

Jumlah posting : 2009
Join date : 27.01.08
Lokasi : Jakarta Selatan

http://tahenk.multiply.com/

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik